FarapaNotes
Home » , » Soal Macam Apa Ini

Soal Macam Apa Ini

Written By Fazrin RP on Jumat, 25 Maret 2016 | 09.59.00

Minggu ini gue baru selesai menjalani UTS. Itulah sebabnya kenapa belakangan ini gue gak aktif ngeblog, ya sebenernya sih bisa aja gue ngeblog meskipun lagi UTS, tapi kalo udah ngeblog gue susah banget buat berhenti, makanya gue lebih milih untuk gak ngeblog dulu, lagian gue gak punya bahan untuk ngepost. Disamping itu, setelah gue selesai UTS, kampretnya internet gue mati, ya gue hanya bisa tersenyum dan menunggu bisa kembali nyala, dan hari inilah internet gue udah bisa kembali digunakan.

Oke, jadi gue mau cerita tentang UTS gue. Ya, seperti ulangan biasa kita dibagi ruangan, lalu diatur tempat duduknya, dan duduknya disamping kakak/adik kelas. Dan bodohnya gue karena gue hanya menghafal saat ulangan saja. Hasilnya, ya gak sedikit ulangan yang gue gak bisa jawab. Dan seperti pelajar lainnya, gue memakai 'alternatif'. Tapi, kalo alternatif gue disini itu gak bersifat parasitisme, tapi mutualisme. Dimana gue memberikan alternatif ke temen gue, dan sebaliknya. Dan itu berjalan dengan baik, meskipun gue tau itu adalah kesalahan. Tapi itu merupakan sebuah kewajaran menurut gue, apalagi di pelajaran tertentu seperti Matematika atau Fisika.

Nah sekarang gue mau bahas soal 'alternatif'. Setelah gue selesai UTS, tiba-tiba terpikir di otak gue, "Kenapa sih gue nyontek?","Kenapa sih pelajar nyontek?". Ternyata jawaban yang pasti adalah, gue gak bisa menguasai soal. Lalu sekarang "Kenapa gue gak menguasai soal?" dan jawabannya adalah pasti gue gak mempelajari soal itu. "Lha terus kenapa gue gak belajar semua soal?" maka akan gue jawab soal itu 'terlalu banyak' untuk gue kuasai semuanya, dan gue gak akan mampu menguasai semuanya. Tapi kok ada orang yang bisa menguasai semuanya? Coba lo ambil aja anak paling pinter di kelas, dan bandingkan dengan seisi kelas lo (biasanya 40 siswa). Jadi perbandingannya akan selalu 1:39. Gue perjelas disini akan selalu seperti itu, karena yang paling pintar hanya ada satu. Sisanya pasti ada aja yang gak bisa menguasai soal, termasuk yang paling pinter tadi pasti ada aja soal yang gak dia kuasai.

Singkatnya gini, lo belajar semua persoalan dalam pelajaran, dan gak cuma satu pelajaran doang, tapi semua pelajaran yang ada di sekolah lo. Setelah lo menguasai semuanya, lalu lo menghadapi ulangan/ujian, lo bisa mengerjakan semuanya. Setelah lo selesai ulangan dan mendapat nilai yang oke, lalu tanpa lo sadari ilmu yang lo pelajari itu gak dipake lagi dan perlahan akan lo lupakan. Gitu kan faktanya? Emang sih ada beberapa yang akan bertahan, tapi itu hanya sebagian kecil dari banyaknya yang lo pelajari. Got it?

Mungkin tambah dalam gue akan tambah serius bicarain soal pendidikan ini. Oke, disamping dapat nilai yang besar dan lo lupa pelajaran sebelumnya, lo akan dapat predikat 'anak pintar' apalagi kalo lo dapat ranking 1 di kelas. Oke gue mau balik lagi ke pertanyaan yang tadi tapi dengan jawaban yang beda "Kenapa sih gue nyontek?" maka jawaban gue adalah, gue ingin dapat nilai yang besar. Dan dari jawaban yang satu ini dapat kita simpulkan bahwa yang diinginkan oleh semua pelajar adalah 'nilai yang besar'. Begitu? Jadi, ilmu yang selama ini kita cari dan dapatkan dengan susah payah, tujuannya hanya untuk angka di rapor saja. Lo bisa tau lah betapa berartinya nilai rapor. Lo bisa dibilang anak pintar gara-gara nilai rapor, lo bisa dapat ranking 1 gara-gara nilai rapor, lo bisa lolos SNMPTN gara-gara nilai rapor dan masih banyak lagi.

Lalu sekarang soal nilai. Kenapa semua pelajar hanya ingin nilai? Kenapa nilai itu segala-galanya? Yang dipikirkan oleh pelajar sekarang adalah 'gimana caranya supaya gue bisa dapet nilai 90' bukan 'gimana caranya ilmu yang gue kuasai ini bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari gue'. Gini aja deh, lo itu jago banget dalam matematika apalagi bidang trigonometri matematika, setiap ulangan lo dapet nilai 100. Nah sekarang gue tantang lo motong pizza dibagi 7 aja, apa lo bisa motong pizza itu sama persis? derajatnya sama persis, besarnya sama persis, isinya sama persis. "Apa hubungannya sih sama motong pizza, orang motong pizza aja jadi masalah". Emang itu gak jadi masalah, tapi yang jadi masalah adalah ketika ilmu itu gak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. "Bisa lah dipake, arsitek kalo gak bisa trigonometri bangunannya runtuh dong" . Lha itu kalo buat kerjaan arsitek, kalo penyayi? koki? sutradara? seniman? Enggak dong, mereka gak perlu dapat nilai 100 dalam trigonometri dong.

Nah intinya itu dia permasalahan pada pendidikan kita, yaitu terlalu mengacu pada nilai. Emang dengan nilai akan terlihat mana yang berusaha dan yang tidak. Tapi disamping terlihat atau tidak itu ada sesuatu yang benar-benar disayangkan. Yaitu kejujuran, jadi kejujuran kita itu bisa dibeli dengan nilai. Dan yang kedua seperti yang gue bilang tadi, ilmunya hanya sebatas pada nilai saja dan gak bisa dipake dalam kehidupan sehari-hari. Gue disini bukan mengajak kalian semua untuk gak usah memperdalam pelajaran-pelajaran itu. Tapi gue ingin merubah mindset kalian tentang belajar.
"When students cheat on exams. It's because our school system values grades more than students value learning." -Neil Degrasse Tyson
Jadi kesimpulannya adalah janganlah lo belajar hanya untuk nilai. Belajar lah untuk manfaat yang akan lo dapatkan. Terus gimana kalo cita-cita gue penyanyi? Apa gue harus mempelajari matematika? Kalo lo emang bener-bener ingin jadi penyanyi lo harus mempelajari matematika, tapi gak harus lo perdalam. Yang harus lo lakukan adalah mengasah kemampuan lo dalam bernyanyi itu. Kalo lo tengok negara maju diluar sana, yang bikin mereka maju bukan karena semua orang bisa menguasai semua pelajaran, tapi mereka punya 'satu skill' yang bisa membuat mereka berinovasi. Singkatnya sih gini, mereka gak menguasai semua keahlian, tapi mereka jago banget di satu ahli dan terus mengasahnya sehingga menciptakan inovasi yang bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Kita ambil contoh Bill Gates dan Mark Zuckerberg. Apa mereka lulus dari universitasnya? Enggak, mereka DO. Tapi itu karena pilihan mereka sendiri. Mereka gak memilih lulus karena mereka tau kalo skill mereka lebih penting dari pada lulus dari universitas. Mereka punya inovasi, bukan punya nilai yang besar.

Kalo semua orang punya mindset begitu, gue yakin gak akan menutup kemungkinan negara kita akan menciptakan generasi yang penuh dengan inovasi kreatif dan menjadi negara paling maju karena banyaknya ide-ide besar.
"Belajarlah untuk manfaat yang akan banyak orang dapatkan"
Oke itu aja yang bisa gue sampaikan. Semoga kalian sependapat dengan gue. Ya intinya gitu aja sih, lo harus jago di satu pelajaran dan jago banget sehingga lo berfikir gak ada orang lain yang lebih jago dari lo dalam pelajaran itu. Meskipun gue yakin lo gak bakalan bisa menerapkan mindset ini mentah-mentah. Tapi sebisanya lo coba sedikit-sedikit supaya gak ada lagi mindset 'Belajar untuk nilai' di generasi selanjutnya. Makasih buat yang udah menyempatkan waktu untuk membaca. 

*Note : Karena banyak yang berfikir lain-lain. Gue saranin jangan dulu lakuin apa yang gue bilang diatas. Baiknya lo fikir dalam-dalam sampai paham maksud gue apa. 
SHARE

About Fazrin RP

Hai! gue adalah pemilik dan penulis blog FarapaNotes ini. Buat kalian yang gak tau, nama Farapa itu diambil dari singkatan nama lengkap gue 'FAzrin RAga PAkarti'. Mau tahu lebih dalam soal gue? Lo bisa tanya gue di twitter, @farapa404.

47 komentar :

  1. Belajar bukan untuk nilai, itu susah udah dari kecil kita udah di ajarin dapat yang nilai bagus, dan rangking yang bagus oleh orang tua. Apalagi untuk masuk universitas idaman, untuk menjadi karyawan, pns, semua butuh nilai, gak butuh bakat.

    Ini ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Maunya kegiatan di luar pelajaran, ekskul, di perbanyak lah. Biar bakat juga bisa ter asa di sekolah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah makanya itu dia, gue ingin merubah mindset orang-orang. Supaya gak terjadi lagi mindset "belajar untuk nilai" itu di generasi selanjutnya.

      Soalnya gue gak bakalan bisa merubah kalo cuma gue sendiri

      Hapus
  2. Masa sih bisa ngeblog pas uts? Emang konstransinya g pecah y pas ngerjain uts sambil nulis apa yg ingin ditulis di blog?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya itu dia masalahnya kalo sambil UTS ntar soalnya gak dikerjain dong wkwkwk

      Hapus
  3. Nyontek itu udah memang tradisi dikalangan pelajar. Kenapa mereka lakukan? Karena mereka (termasuk gue) masih belum bisa percaya diri dengan apa yang perbuat. Misalnya disaat UTS mereka lebih memilih menggunakan jawaban orang lain dan salah bareng daripada harus jawaban sendiri dan salah sendiri. Itu prinsip mereka (termasuk gue).

    Bagus pendapat lo ketika mengajak kita semua untuk tidak memperdalam ilmu yang belum tentu akan kita gunakan dimasa yang akan datang. Karena percuma memang memperdalam suati ilmu tapi gak digunakan. Walaupun sekalinya digunakan paling buat bantu adek-adek dikeluarga itupun kalau masih dingat. Karena kita juga pakai prinsip menghafal tanpa memahaminya terlebih dahulu wajar kalau dilupakan ketika tidak dibutuhkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget , lebih percaya jawaban 'anak pinter' dari pada jawaban sendiri.

      Itu dia sayang banget kita buang2 waktu buat hal yg percuma

      Hapus
  4. Nyatanya disini kita lebih percaya sama kemampuan orang lain daripada diri kita sendiri. Zaman sekarang nilai itu menuntukan kebodohan atau bahkan kepinteran lu sendiri, jarang ada yang berpikiran seperti yang ditulis diatas. Realistis, sebesar-besarnya nilai kita, orang ga mau tau itu dicapai dengan cara apa, mau mikir sendiri atau nyontek sekali pun.

    Tapi, gua juga setuju dengan tulisan lu diatas, semangat merubah mindset orang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu yang gue maksud dengan menjual kejujuran dengan nilai. Sayang banget

      Iya makasih dukungannya! :D

      Hapus
  5. Eh tau nggak, kamu nanya se detail detailnya itu namanya filsafat. Keren juga udah mikir secara filsafat padahal masih sekolah hahaha

    Dulu aku juga suka koar koar tentang buat apa belajar dsb. Tapi makin kesini aku jadi sadar sih, sekolah itu nggak usah terlalu serius. Nikmatin ajaa. Itu untuk perkembangan otak juga, makanya cara ngomong anak lulusan SMP dengan lulusan SMA atau mahasiswa berbeda. Gitu sih, ntar ngerti sendiri kok apa yang kumaksud huehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak biasa aja. Pasti banyak kok orang diluar sana yg bisa mikir gini. Cuma gak mereka share kali wkwkwk. Btw makasih :D

      Ohh ya kalo itu sih bner juga. Cuma masalah hasil dari belajarnya yg orang2 sepelekan.

      Hapus
  6. setuju banget lah (y) tapi, apa lu masih mau pake "alternatif" saat ulangan? apa gak rugi, kalau misalnya orang yang alternatif bareng nilainya lebih besar dari kita? terus lu cape-cape ngitung sampe stress dan temen lu cuma bisa copy paste doang ?

    "nyontek itu wajar". memang wajar, tapi sangat disayangkan. gw sependapat kalau nyontek demi dapet nilai bagus. tapi kalau misalnya ada orang yang nilainya selalu bagus saat ulangan karena nyontek, apa yang mau dibanggain nanti ? apakah status "pintar" bisa jadi kebanggaan? gw pernah pake alternatif, tapi sekarang gw sadar bahwa kejujuran lebih berarti. harga diri kita dibawa oleh kejujuran. misalnya, ada orang yang bilang "dia pinter juga ya, pinter nyonteknya". bandingkan dengan "dia pinter juga ya. udah pinter, jujur lagi salut gw"

    kalian pilih yang mana ? pasti yang jujur dapet nilai plus dimata orang lain, sedangkan yang nyontek pasti dapet nilai min di mata orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu dia. Gue baru bisa mikir sekarang kalo yang namanya 'alternatif' itu omong kosong.

      Gue setuju banget, kalo yg nyontek lebih gede dari yang dicontek, rasanya nyesek banget. Tapi gak usah khawatir soal itu. Semua orang bakalan tau mana yang nyontek dan mana yang dicontek, itu aja sih.

      Hapus
    2. yaps. bagus bro, postingannya bermanfaat banget (y)

      Hapus
  7. Nah akhirnya ada yang bahas ginian juga. dan gue setuju banget fara! menurut gue kejujuran dikalangan siswa sekarang sangat menurun ketika ada ulangan atau ujian. karna gue juga termasuk. gue juga sering nyontek karna gak bisa paham semua pelajaran yg diujikan dan alhasil gue nyontek. karna kalau nilai gue rendah dan tmn gue tinggi. bisa2 gue dimarahin guru atau ortu. hhmm

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu dia masalahnya cuma karena pengen dapet nilai gede doang. Nah ini tugas kita semua buat ubah mindset kita agar 'belajar untuk nilai' diganti dengan 'Belajarlah untuk manfaat yang akan orang banyak dapatkan'. Sehingga generasi selanjutnya gak bakalan jual kejujuran demi nilai.

      Hapus
  8. Belajar untuk nilai adalah hal yang paling bodoh yang gue tau. Siswa capek belajar buat dapetin nilai gede, Orang tua capek kasih uang ongkos buat anak. Tapi hasil belajarnya ngga ada yang manfaat buat kehidupannya. Intinya, siswa sekolah karena buat ngejar nilai sama rapot. Orang tuanya ibaratkan beli ijazah senilai uang ongkos yang dia kasih ke anaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang tua kita emang masih pake mindset jadul. Kita lah generasi muda yang harus merubahnya. Yang paling penting dari belajar adalah hasilnya dan tentu yang bisa menghasilkan inovasi.

      Hapus
  9. Parahnya menjelang UN ini bro, semua siswa kalang kabut untuk nyari nyari kunci jawaban dimana mana, bahkan rela untuk merogoh kocek ratusan ribu hingga jutaan demi dapat nilai bagus di UN. NILAI UN? Nilai tinggi? Mengapa semua ini hanya tertuju pada nilai? Seakan akan nilai 90 di UN bisa membayar lunas semua perjuangan kita sewaktu SMA.

    Menurut gue sih, sistem pendidikan Indonesia yg udah salah. Kita menganggap nilai lebih dari segala-galanya.

    Nice post, elu berani mengkritik. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener sih , kayanya sistem pendidikan juga salah satu penyebab kita fokus untuk nilai.

      Hahaha, enggak gue cuma lagi ingin koar-koar aja.

      Hapus
  10. Setuju banget, aku sependapat. Pendidikan kita terlalu mengacu pada nilai. Kalo nilai jelek berarti enggak pinter, padahal mungkin keahliannya emang enggak disitu. Kayaknya di sekolah yang dijadiin acuan lulus atau tidaknya lbih baik bukan nilai akademik, tapi moralnya. Kalo yang moralnya baik bakal lulus, kalo moralnya enggak baik ya gak lulus. Kayaknya asyik tuh kalo kayak gitu. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus akademik belum tentu bagus moralnya. Tapi yang bagus moralnya biasanya bagus juga akademiknya.

      Hapus
  11. ah, berat banget nih tulisannya..
    itulah bedanya sistem pembelajaran di Indonesia dengan di negara-negara lain..
    kalo di Indonesia itu nilai adalah segala-galanya..
    kalo dari SD aja nilai kita udah jelek, gemana mau masuk SMP idaman..
    begitu seterusnya sampai akan mencari pekerjaan, kalau IPK kita dibawah 2.0 , bakalan susah banget ngelamar ke kantor2..
    Jadi ya begitulah.. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah, kita udah salah langkah dari awal hehehe. Harusnya kalo semua pendidikan rata gak bakalan ada yang namanya 'sekolah favorit'

      Hapus
  12. Neil Degrasse Tyson pernah bilang,

    "When students cheat on exams. It's because our school system values grades more than students value learning."

    Jadi disini, nilai selalu unggul. Pengalaman pun diabaikan. Ya emang gitu, materi dihafalin cuman untuk dapetin nilai, bukan untuk nambah ilmu. Di Indonesia realitanya emang begitu, gue gak tau kapan sistem2 kek ginian bakalan hilang dalam dunia pendidikan Indonesia.

    Bagusnya, pas SMA itu kita, kalo bisa milih satu pelajaran yang untuk difokusin, diluar jurusan IPA/IPS. Jadi kita bisa fokus gitu ke satu matpel yang kita ingin perdalam lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener kaya gitu realitanya. Ya, tugas kitalah yang harusnya mengubah itu semua secepat mungkin supaya bisa terwujud.

      Btw quotesnya izin gue copy disini ya wkwkwk.

      Hapus
  13. Bobroknya pendidikan itu udah ada sejak kita masih di sekolah dasar. Udah ada sistem ranking2an, yang bikin siswa yg ranking 1 disebut paling pinter, yang ranking 40 dianggap bodoh.
    Yg macem itu sih yg gw pikir bikin siswa2 ranking rendah itu down. Padahal dlm kenyataannya, ga semua siswa mumpuni di seluruh bidang akademik, ada yg cuma mampu di bahasa, ada yg di angka, ada juga yg di seni.

    di sekolah, nilai itu lebih berharga dibanding moral.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget, gak semua siswa mumpuni di semua bidang akademik. Sayang banget!

      Hapus
  14. Setuju setuju. Fenomena pendidikan Indonesia memang dari dulu sudah begitu. Yang nilai matematikanya bagus akan disebut anak pintar. Sementara yang jelek disebut anak bodoh. Padahal masih banyak bidang ilmu lain yang kemungkinan besar dikuasai si 'anak bodoh' tadi. Namun sayangnya gak difasilitasi. Gak disalurkan karena gak disediain tempatnya. :))
    Nice post!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu dia yang gue maksud fir. Emang kenyataanya kita udah salah dari dulu.

      Hapus
  15. Wow ... pedas bro
    memang benar potensi otak itu tidak bisa bersatu dengan potensi olah tubuh, walaupun sudah mengakalinya dengan 1000 cara

    Sedikit kritik tentang post ini
    Menurut saya judul "Soal macam apa ini" tidak sesuai dengan isi dari post yang menerangkan "merosotnya pendidikan di Indonesia".
    Ok thx bro...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kurang asin gak? hehehe

      Awalnya gue mau cerita tentang UTS gue, eh kesininya malah ngebacot gak jelas wkwkwk

      Hapus
  16. Susah nggak sih membenarkan konsep yang selama ini salah? kayak yang kamu bilang : 'jangan hanya belajar untuk nilai' iya, itu konsep salah. Tapi sejauh ini banyak orang yang masih dan tetep belajar demi nilai :' bahkan, lebih banyak yang menghalalkan segala cara demi nilai :'

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gue pikir sih ini bener-bener susah banget. Soalnya kita harus menyadarkan pola pikir semua orang, gak cuma satu dua orang tapi harus semua orang. Dari awal gue emang udah tau, kalo postingan gue ini percuma. Tapi ya gak apa-apa, setidaknya gue udah ngerasa puas dengan mengeluarkan semua yang ada di pikiran gue selama ini.

      Hapus
  17. Emang dari dulunya kita udah dijarin namanya mendewakan nilai. Dari SD gue rasa udah mulai persaingan nilai.
    Klo SD gue yakin pasti masih jujur. Mulai SMP mulai agak jujurnya dan SMA udah gak ada kejujuran, pas kuliah apalagi. Itu si yg gue rasain. Nilai begitu dewa di masyrakat indonesia.

    BalasHapus
  18. kadang orang hanya melihat hasil akhirnya namun tidak memperdulikan prosesnya. justru menurutku yang penting itu prosesnya. kalo prosesnya baik outputnya jg pasti baik.

    bener bgt belajar untuk dapat manfaatnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu dia, padahal yang paling penting itu prosesnya

      Hapus
  19. setuju sama postinganmu. yang salah dari semua ini adalah sistemnya. g cuman di indonesia kok fenomena tentang menilai sesuatu berdasarkan angka pada kertas ujian, rapor, dan ijasah. negara-negara lainpun begitu.
    ini baru tingkat anak sekolah, besok kalau kuliah sistem ini bakal edan-edanan, kecuali kamu atau orang2 lainnya punya inovasi sendiri kayak mark mungkin? ngelamar kerja pasti deh ada batasan nilai minimal, mau ngajuin beasiswa s2 ada lagi batas minimal.
    dibagian penerapan atas nilai2 tadi, aku sendiri udah kerja, nilai IPK ku pun g jelek2 amat, cuman penerapan di dunia nyata g seperti saat belajar di kuliah dulu. padahal nih jurusanku selaras sama pekerjaanku sekarang, yah tapi begitulah.. dunia sesungguhnya tanpa nilai tertulis namun banyak makna baru, yaitu dunia kerja dan dunia pernikahan.. *eeaaaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya yang dibutuhkan di zaman sekarang ini ya itu dia, inovasi.

      Hapus
  20. Iya juga ya, biasanya yang kita pelajari cuma berguna buat ulangan doang. Habis ulangan materinya meluap entah kemana. Harusnya soal yang bisa diaplikasikan ke kehidupan sehari-hati gitu ya. Masa kita disuruh ngitung peluang mata dadu yang keluar, ini mau ulangan apa mau mainan monopoli coba?

    Tapi banyak orang yang rela buat melakukan segala cara demi dapat nilai yang bagus karena pendidikannya terpaku ke nilai, padahal nilai kan gak mencerminkan keseluruhan.

    Nice post ini, menteri pendidikan harus baca!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu, sayang banget kan kalo cuma dipake buat ulangan doang.

      Gue harap sih begitu, tapi kayanya gak bakalan cukup kalo cuma menteri pendidikan doang yang baca.

      Hapus
  21. selama ini gue masih berpikir belajar itu untuk dapet nilai bagus, kan kalo gue dapet nilai bagus tar dibeliin apa yang gue mau.. ya ini, ya itu... kalo dapet nilai bagus jadi gampang minta ini-itu. kalo dapet nilai jelek, robek-robek kertas ulangannya sebelum sampe di rumah.. Muhahahahahhaha (evil laugh)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Termasuk gue juga sama. Gue ingin banggain orang tua gue dengan nilai gue hahaha

      Hapus
  22. wah, mantep tuh mengorbankan aktifitas ngeblog. iya emang ngeblog itu punya sejenis zat aditif kali yak, sekali udah konsisten jadi ketagihan. hmm, kalau si mark itu mah emang sosok yang menginspirasi banget. dia nunjukin ke kita kalau skill lebih dibutuhkan ketimbang "GELAR".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya jev , lebih baik baik dikorbankan meskipun akhirnya diremed juga wkwkwk. Bener banget tuh skill lebih penting

      Hapus
  23. Ngebaca materi ini, boleh dibilang berat. Iya, karena gak ringan.

    Nah, pemahaman yang salah kaprah justru akan membuat yang melakukan cara di atas terjerumus ke lembah kebodohan yang sebenarnya. Tapi, kalo cerdas menyikapi pernyataan di atas, gue yakin dia akan jadi lebih baik.

    Gini, ya. Menurut gue, bukan soal seberapa penting penerapan Ilmu itu di kehidupan kita. Gue suka banget sama FISIKA, awalnya gue pikir setelah kuliah dan dunia kerja gk dipake. Tetep aja dipake. Padahal, jurusan gue Pertanian. Sistem pertanian modern aja, butuh ilmu fisika. Itu salah satu contoh. Sebenarnya, pandangan gue tentang gak semua ilmu bisa diterapkan itu bener. Tapi, soal ilmu yang harus bisa dipilih2 gitu, gue kurang setuju sih. Buat gue, apapun itu. Asalkan positif, gue pelajarin.

    COntoh lagi, gue mahasiswa pertanian. Tapi, gue suka belajar Coding, Desain dan lain2. Kira2 coding Tanaman ada gak? Enggakkan? Tapi selagi itu adalah ilmu. Gue pelajari.

    Kembali lagi. Apapun ilmunya. Pelajari. Karena dari ilmu kalian akan mengenal dunia. Heru Arya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wih seneng nih kalo dikomentar sama yang dewasa, argumennya kuat banget wkwkwk. Aku harus cari lagi bukti biar argumen aku lebih kuat nih. Thanks pangeran udah mampir

      Hapus